Keramik sebagai bentuk kerajinan sudah nampak pada jaman kolonial Belanda, mulai tahun 1795 yang pada saat itu di sekitar Citalang ada lio-lio (tempat pembuatan genteng dan batu bata). Sejak itulah rumah-rumah rakyat yang semula beratap ijuk, sirap, daun kelapa atau alang-alang di sekitar Plered dan di Kabupaten Karawang mulai diganti dengan atap genteng bahkan di sekitar Anjun (Panjunan) sudah dimulai pembuatan gerabah/tembikar. Mulai tahun 1935, produk gerabah yang diglasir di Plered menjadi industri rumah tangga. Pada tahun tersebut, terdapat perusahaan Belanda yang membuka pabrik glasir bernama Hendrik De Boa di Warung Kondang, Plered.
Pada jaman kolonial Jepang, kerajinan keramik mengalami kemunduran akibat penduduknya harus bekerja sebagai romusha, utamanya di sekitar kaki Gunung Cupu dan Ciganea. Sedangkan pabrik De Boa dikuasai dan diganti namanya menjadi Toki Kojo. Kendati demikian perusahaan tersebut tetap berjalan.
Pada masa kemerdekaan, produksi gerabah dan keramik di Plered nyaris terhenti sama sekali karena keterlibatan penduduk dalam gerakan perjuangan. Setelah penyerahan kedaulatan tanggal 29 Desember 1949, keadaan di Plered berangsur baik, sehingga produksi gerabah dan keramik mulai bangkit kembali ditandai dengan Bung Hatta membuka resmi Induk Keramik yang gedungnya dekat Gonggo pada 1950. Pada masa itu mesin-mesin didatangkan dari Jerman lantas mencapai masa kejayaannya karena produktivitasnya relatif tinggi. Di samping itu Induk Keramik berjasa dalam membimbing industri rumah tangga hingga berkembang pesat.
Kiwari seiring dengan perkembangan jaman dan pergeseran paradigma, tengah terjadi pembenahan dalam penerapan rekayasa desain, teknologi dan manajemen yang dilakukan secara koordinatif antara Kelompok Kerja Klaster Industri Kerajinan Keramik Plered yang berada di bawah binaan Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah, Departemen Perindustrian bekerja sama dengan UPTD Litbang Keramik Plered sebagai instansi di bawah Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal Kabupaten Purwakarta didukung secara akademis oleh Tim HI-LINK yang merupakan satgas kemitraan perguruan tinggi bagi masyarakat pengrajin dari FSRD-Institut Teknologi Bandung.
Kondisi terkini adalah tercatat sekitar 264 unit usaha yang mempekerjakan sekitar 3000 orang dengan nilai produksi berkisar 8,5 milyar rupiah. Produksinya diekspor ke berbagai negara di antaranya : Jepang, Taiwan, Korea, Australia, New Zealand, Belanda, Kanada, Saudia Arabia, Amerika Serikat dan Amerika Latin, Inggris, Spanyol, Italia dan berbagai negara mancanegara lainnya.
Pada jaman kolonial Jepang, kerajinan keramik mengalami kemunduran akibat penduduknya harus bekerja sebagai romusha, utamanya di sekitar kaki Gunung Cupu dan Ciganea. Sedangkan pabrik De Boa dikuasai dan diganti namanya menjadi Toki Kojo. Kendati demikian perusahaan tersebut tetap berjalan.
Pada masa kemerdekaan, produksi gerabah dan keramik di Plered nyaris terhenti sama sekali karena keterlibatan penduduk dalam gerakan perjuangan. Setelah penyerahan kedaulatan tanggal 29 Desember 1949, keadaan di Plered berangsur baik, sehingga produksi gerabah dan keramik mulai bangkit kembali ditandai dengan Bung Hatta membuka resmi Induk Keramik yang gedungnya dekat Gonggo pada 1950. Pada masa itu mesin-mesin didatangkan dari Jerman lantas mencapai masa kejayaannya karena produktivitasnya relatif tinggi. Di samping itu Induk Keramik berjasa dalam membimbing industri rumah tangga hingga berkembang pesat.
Kiwari seiring dengan perkembangan jaman dan pergeseran paradigma, tengah terjadi pembenahan dalam penerapan rekayasa desain, teknologi dan manajemen yang dilakukan secara koordinatif antara Kelompok Kerja Klaster Industri Kerajinan Keramik Plered yang berada di bawah binaan Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah, Departemen Perindustrian bekerja sama dengan UPTD Litbang Keramik Plered sebagai instansi di bawah Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal Kabupaten Purwakarta didukung secara akademis oleh Tim HI-LINK yang merupakan satgas kemitraan perguruan tinggi bagi masyarakat pengrajin dari FSRD-Institut Teknologi Bandung.
Kondisi terkini adalah tercatat sekitar 264 unit usaha yang mempekerjakan sekitar 3000 orang dengan nilai produksi berkisar 8,5 milyar rupiah. Produksinya diekspor ke berbagai negara di antaranya : Jepang, Taiwan, Korea, Australia, New Zealand, Belanda, Kanada, Saudia Arabia, Amerika Serikat dan Amerika Latin, Inggris, Spanyol, Italia dan berbagai negara mancanegara lainnya.